Senin, 23 Desember 2013

Budaya menatap langit pelajar Indonesia: Dari Sudut Kelas (1)

Pada suatu hari, di sudut kelas yang ada di pojok sebuah sekolah menengah negeri yang terletak di pinggiran ibukota, berkumpullah beberapa muda-mudi yang kelihatannya sedang membicarakan hal yang 'terdengar' terlalu tinggi. Bukan terlalu tinggi secara konotatif, tetapi hal yang mereka bicarakan memanglah suatu hal yang sangat tinggi secara kuantitatif, yaitu: Bebintangan, galaksi, dan segala hal yang jauh dari Bumi tempat kita berpijak.

Muda-mudi tersebut hanya bermodalkan pengetahuan seadanya, ditambah dengan dua lembar kertas hand-out seminar yang merupakan 'buah tangan' dari seminar kecil-kecilan pertemuan rutin dwi mingguan HimpunanAstronomi Amatir Jakarta yang diadakan di Planetarium Jakarta pada pekan sebelumnya. Tanpa paksaan dan tuntutan dari pihak manapun mereka berbagi ilmunya satu sama lain, saling menjelaskan tentang hal yang sebenarnya belum pernah sekalipun mereka lihat. Dengan seolah-olah telah paham betul dan menguasai apa yang mereka bicarakan, sesi tanya jawab pun dimulai. Sesi ini menjadi babak paling seru dalam diskusi mereka hari ini. Padahal, jangankan untuk jawaban yang masuk akal, pertanyaan yang sering mereka lontarkan saja terdengar rancu.

Hal tersebut bisa dimaklumi, mengingat sekolah tempat mereka belajar tersebut hanya memiliki satu buah litelatur yang terkait dengan pembicaraan mereka, yang tersimpan dengan aman di perpustakaan. Itupun hanya dua puluh-an lembar, yang bahkan hanya sebagai pelengkap dan koreksi dari buku lain sejenis IPBA yang tidak ada di perpustakaan sekolah tersebut. Tetapi mereka tidaklah pasif, dengan mengerahkan segala daya dan upaya yang ada, beberapa dari mereka berhasil mendapatkan sumber daya berupa buku cetak ataupun sekedar pengalaman. Contohnya, ada yang berhasil meminjam buku yang cukup tebal, berlambang gajah di bagian covernya - yang kondisinya sudah compang-camping - , hasil pinjaman dari temannya yang bersekolah di sekolah lain yang ternyata juga meminjam dari perpustakaan sekolah lain (dengan kata lain buku ini sudah berada di tangan ketiga). Oh iya kebetulan, yang saya bilang 'sekolah lain' di sini adalah sekolah menengah negeri paling dekat (dan setidaknya lebih 'maju' dalam hal ilmu pengetahuan) dari sekolah muda-mudi tersebut berada. Usaha lain yang dilakukan oleh muda-mudi tersebut adalah dengan cara merelakan punggung bugarnya untuk meringkuk berjam-jam di depan komputer berlayar CRT di dalam warnet tertutup tanpa pendingin udara untuk mencari pengetahuan mengenai apa yang selama ini mereka ingin tahu (tentang Astronomi, tentunya). Meskipun, terkadang mereka sempat terjerumus ke situs hoax yang sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan isinya. 

Ada lagi yang lain, yang rela bolak-balik Depok-Cikini setiap dua minggu sekali hanya untuk menyimak sekilas presentasi dari orang yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Muda-mudi itu berangkat menggunakan kereta kelas ekonomi - yang pada saat itu kondisinya sangat parah - sampai suatu ketika tas salah satu dari mereka robek ditikam oleh oknum yang tidak dikenal; yang sepertinya ingin mengambil sesuatu di dalam tasnya. Untungnya pada hari itu hanya ada satu buah buku tulis dan kotak pensil yang berada di dalam tas tersebut. Maka untuk menghindari hal serupa, karena trauma kereta, tanpa pengetahuan tentang jalan yang akan mereka lewati muda-mudi tersebut nekat untuk melakukan perjalanan Cilandak-Cikini dengan menaiki KOPAJA yang melewati daerah tersebut. Namun naas,setelah turun dari bis bukannya kompleks Planetarium Jakarta-Taman Ismail Marzuki yang ia pijak pada saat itu, melainkan sebuah terminal yang berada di daerah pasar Senen.

Muda-mudi tersebut akhirnya selamat sampai ke rumah, dengan cara menyetop beberapa unit taksi - meskipun mereka tidak jadi ke planetarium karena ongkos mereka sudah habis - pak supir taksi yang baik lalu mengantar mereka sampai ke depan rumah masing-masing karena kebetulan, mereka belum tahu jalan-jalan di ibu kota. Namun, semangat mereka belumlah patah. Jiwanya masih berapi-api, meledak-ledak layaknya supernova (sebuah kata yang baru saja mereka pelajari dari buku gajah itu). Keinginan mereka untuk membongkar langit lebih dalam lagi masihlah tajam. Dengan segala kekurangan, mereka saling berdiskusi (meskipun sok-tahu) tentang apa yang mereka sebenarnya memang benar-benar tidak tahu. Konon, penulis yang baik ini adalah salah-satu dari muda-mudi tersebut.




Foto asli muda-mudi yang barusan penulis ceritakan. 
Entah apa yang mereka bicarakan. Sumber: Dokumen pribadi


Tidak ada kegiatan yang terlalu serius atau formal dari yang muda-mudi ini lakukan. Hanya sekedar berkumpul, main-main, kadang-kadang bergosip ria. Untuk menatap langit sungguhan saja sangat sulit. Sekedar melihat tiga bintang di sabuk Orion (Al-Nitak, Al-Nilam, dan  Mintaka) saja misalnya, mereka pasti sudah menghubungi satu sama lain dan saling mengajak untuk mengamati dari atap rumah masing-masing. Apabila sedang berkumpul di kelas tetapi tidak ada topik, mereka mencari topik alternatif lain untuk dibicarakan, misalnya tentang public speaking. Tetapi kalau ada satu saja yang iseng ingin membahas sesuatu, pasti mereka menggubrisnya dengan serius. Misalkan, ada seorang 'pemicu' yang sekedar menanyakan cara kerja teleskop. Muda -mudi tersebut pasti langsung tersulut untuk mencari tahu. Hasil dari diskusinya pun bukanlah teori-teori tentang perlensaan maupun optika fisis lainnya. 
Melainkan, sebuah prototipe teleskop sungguhan.




Gambar prototipe teleskop yang muda-mudi tersebut buat.



Percayalah, bahan-bahan untuk membuatnya dapat Anda temukan sendiri di rumah

Mau ngintip?

Meskipun sangat sederhana dan masih belum bisa digunakan untuk mengamat bintang karena bayangannya sangat buram, teleskop tersebut telah mewakili cara kerja teleskop besar sungguhan. Lensa objektifnya pun sudah menggunakan lensa sferis, meskipun hanya lensa plastik yang dipotong dari penggaris anak-anak. Eyepiecenya, jangan salah, sudah bisa dicopot-pasang seperti eyepiece sungguhan. Bahkan fokusnya juga dapat diatur layaknya teleskop jenis galilean sungguhan. Dan yang paling canggih, mounting teleskop ini sudah menggunakan sistem equatorial. Saya berani menjamin bahwa tidak satupun dari muda-mudi tersebut mengerti tentang teleskop ataupun sekedar pernah menggunakan teleskop sungguhan. Bahkan muda-mudi itupun tidak sedikitpun membahas tentang tata kordinat atau teori observasi semacamnya - karena tentunya mereka memang belum tahu -. Semua yang ada pada teleskop kecil ini merupakan hasil dari nalar alamiah muda-mudi tersebut dibantu dengan pengetahuan seadanya dari bangku sekolah. Secara tidak langsung pemikiran deduktif mereka sudah menyamai teknologi yang ada saat ini, yang menandakan bahwa memang segala 'keamatiran' yang muda-mudi ini telah lakukan memanglah tidak jauh dari apa yang sudah ada; mereka bisa berpikir mandiri.

Yak, begitulah peristiwa di subuh hari kegiatan sehari-hari dari divisi astronomi Kelompok Ilmiah Remaja di sekolah tempat penulis belajar sekitar tiga tahun silam. Tentunya, sebelum era internet menyerang mendominasi. Tidak ada yang terlalu spesial dari kelompok ini karena pada dasarnya, semua mengalir begitu saja. Meskipun begitu, hal ini juga merupakan sebuah batu loncatan awal mengapa penulis sekarang terjerumus berada dalam lingkaran ruang lingkup pengetahuan alam semesta,  Astronomi.

bersambung....

Mau lihat yang lain?